Jumat, 13 November 2009

Ciri-ciri Ustadz yang Baik dan Benar

Setelah membaca posting rekan Eep Maqdir tentang ustadz yang seharusnya memiliki kemampuan komunikasi yang baik, saya tergerak untuk menulis dan mengulas secara lebih jauh serta komprehensif tentang karakter yang seharusnya dimiliki oleh ustadz (atau calon ustadz) yang baik dan benar.

Baik berarti bagus secara relatif di hadapan umat manusia. Sementara benar berarti bagus secara absolut di mata Allah ta’ala, dalam artian benar-benar menjalankan apa yang diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang. Dan menjaga keseimbangan antara keduanya merupakan requirement yang harus dipenuhi oleh seorang ustadz.

Saya memang bukan seorang ustadz. Tapi, dari mengamati dan mengikuti beberapa pengajian, menyimak radio dan televisi, dan sebagainya, sebenarnya kita bisa belajar banyak. Lalu, bagaimana sih sebetulnya ciri-ciri ustadz yang baik dan benar itu?
Tidak Menjelekkan Orang-orang Non-Muslim

Satu hal yang pertama harus dicatat adalah ustadz yang baik dan benar selayaknya tidak pernah menjelek-jelekkan, mengutuk, menyebut kata (maaf) “kafir”, dan sebagainya kepada orang-orang Non-Muslim. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang Yahudi, bangsa Amerika, bangsa Israel, dan seterusnya. Allah sudah memberi warning dengan sangat tegas:

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
~QS. Al An’am 108

Sebaliknya, kita malah disuruh untuk menghormati dan melindungi orang-orang yang belum seiman dengan kita. Harapannya adalah agar mereka sempat mendengar firman Allah, mendapatkan petunjuk, dan kembali kepada jalan yang benar.

Dan jika seorang diantara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.
~QS. At Taubah 6
Senantiasa Lemah Lembut, Sopan, dan Simpatik

Ustadz yang baik dan benar seharusnya tidak berlaku kasar, tidak berbicara dengan nada yang tinggi, tidak mudah menghardik/memarahi orang lain yang berbuat kesalahan. Justru sebaliknya, ketika beliau melihat ketidakbenaran, beliau memberikan nasihat yang baik. Sikap yang kasar, tidak sopan, dan tidak simpatik, pada akhirnya akan menjauhkan seorang ustadz dari jamaahnya.

Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.
~QS. Ali ‘Imran 159
Bersikap Rendah Hati dan Tidak Sombong

Tanpa bermaksud menuduh, orang yang diberikan kelebihan ilmu (agama), memiliki kecenderungan untuk bersikap tinggi hati dan sombong. Padahal, Allah sudah memberi warning dengan jelas:

Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.
~QS. Al Furqaan 63

Harus diakui bahwa ada sebagian kecil oknum yang tahu betul agama tetapi justru menggunakan pengetahuan agamanya itu untuk merendahkan atau membodohi orang lain. Misalnya, dengan orang yang belum ngerti agama, sering dibodoh-bodohi; atau dengan artis yang muslim tetapi mengenakan tank-top malah disindir dengan habis-habisan dan diremehkan.

Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
~QS. Luqman 18

Harus diakui juga bahwa ada sebagian kecil oknum yang bersikap sombong dan tinggi hati karena kelebihan ilmu dan pengalamannya. Misalnya, ketika seorang ustadz disapa orang lain yang level imannya belum seberapa, beliau malas menjawab. Atau, ketika seorang ustadz disalami oleh santrinya, beliau membalas tetapi dengan setengah hati dan memalingkan muka.

Padahal, sikap-sikap tersebut adalah sikap yang kurang disenangi oleh Allah ta’ala.
Sabar dan Pemaaf

Dari sekian banyak santri dan jamaah dari seorang ustadz, pastinya ada sebagian kecil yang mbeling dan berbuat kisruh. Masalahnya, sejauh mana seorang ustadz bisa menyikapi tingkah polah santri dan jamaahnya tersebut? Banyak ustadz yang gampang marah dan tersinggung hanya karena jamaahnya sibuk mengobrol ketika beliau memberikan ceramah. Padahal, seorang ustadz seharusnya tahu bahwa segala sesuatu diciptakan sebagai cobaan bagi yang lainnya:

Dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. Maukah kamu bersabar? Dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.
~QS. Al Furqaan 20

Allah sendiri malah menganjurkan kita untuk menjadi orang yang sabar, pemaaf, dan bukannya menjadi orang yang gampang marah dan naik pitam:

Jadilah Engkau pema’af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.
~QS. Al A’raaf 199
Merangkul Semua Umat

Ustadz yang baik dan benar semestinya selalu berusaha untuk merangkul semua umat tanpa membeda-bedakan antara jenis kelamin, kelas sosial, latar belakang, atau golongan antara satu dengan yang lain. Misinya cuma satu: menyatukan umat Islam agar bersama-sama sujud kepada Allah SWT.

Sesungguhnya (agama Tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku. Kemudian mereka (pengikut-pengikut Rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing).
~QS. Al Mu’minuun 52-53

Yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.
~QS. Ar Ruum 32

Kita semua tentu tahu bahwa umat Islam secara kuantitas jumlahnya cukup fantastis. Akan tetapi, jumlah yang maha besar tersebut terpecah dalam berbagai golongan. Yang satu mengikuti aliran ulama/kyai A, sementara yang lain fanatik ajaran ulama/kyai B. Antara satu dengan yang lain seringkali tidak pernah rukun dan masing-masing merasa dirinyalah paling benar. Padahal, sejatinya, kita semua adalah umat yang satu. Sama-sama menyembah Allah. Sama-sama mengakui kenabian Rasulullah. Dan sama-sama memegang Qur’an sebagai pedoman.

Tantangan yang dihadapi seorang ustadz (selain menyebarkan ajaran Islam), adalah menyatukan umat Islam yang saling tercecer dan tidak pernah bersatu padu. Padahal, kekuatan umat Islam yang bersatu padu sujud kepada Allah ta’ala, saya percaya, bisa melebihi apapun juga.
Tidak Pernah Memaksa

Ustadz yang jempolan selayaknya tidak pernah memaksa kepada orang lain, baik itu yang belum seiman maupun dengan yang seiman. Seorang ustadz memang harus menyebarkan ajaran Islam, tetapi misalnya, tidak boleh memaksa orang lain yang belum seiman untuk masuk ke agama Islam. Allah sudah menulis dengan gamblang:

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
~QS. Al Baqarah 256

Seorang ustadz juga seharusnya tidak perlu memaksa kepada orang lain yang seiman. Misalnya, memaksa jamaah putrinya untuk mengenakan jilbab, memaksa santrinya untuk selalu menunaikan sholat di masjid, atau mewajibkan semua orang untuk selalu sholat tarawih berjamaah. Meng-encorurage dan memberi pengertian sih sah-sah saja, tetapi kalau memaksa: no.

Bagaimanapun juga, setiap orang memiliki garisnya masing-masing. Dan masing-masing individu harus bertanggung jawab atas garis yang ia bentuk sendiri. Allah telah berfirman sebagai berikut.

Barangsiapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudharatan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.
~An Nisaa’ 111
Berdoa dengan Santun dan Lembut

Tak bisa dipungkiri bahwa seorang ustadz juga sering diminta untuk memberi atau memimpin doa bagi jamaahnya. Ironisnya, sebagian ustadz berdoa dengan suara yang lantang, dengan nada tinggi, serta terkesan memaksa/menyuruh Allah untuk segera mengabulkan doanya. Padahal, Allah sudah memberikan warning tentang ini:

Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.
~QS. Al A’raaf 55
Tahu Betul Qur’an dan Menggunakannya sebagai Acuan

Saya akui bahwa masih cukup banyak ustadz yang melakukan syiar agama dengan dasar hadist, riwayat, dan cerita/hikayat; bukan dengan dasar Qur’an. Padahal, Allah sudah menerangkan bahwa Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa tanpa pernah ada keraguan di dalamnya (QS. Al Baqarah 2).

Masalahnya adalah menerjemahkan dan menafsirkan Qur’an bukanlah pekerjaan yang mudah. Qur’an ditulis dengan bahasa puitis serta penuh dengan kata-kata bersayap yang bermakna konotatif. Ditambah lagi, susunan Qur’an benar-benar acak, serba melompat, tidak teratur, serta tidak sistematis. Oleh karenanya, mengartikan benar-benar ayat-ayat Qur’an jelas susahnya minta ampun. Kecuali seseorang tersebut memang diberikan rahmat untuk itu.

Karena keterbatasan tersebut, akibatnya banyak ustadz yang tidak menggunakan Qur’an sebagai acuan utama, tetapi justru lebih banyak membuka dan membacakan hadist, riwayat, atau cerita/hikayat. Padahal, menggunakan Qur’an sebagai acuan sama halnya dengan mengajak jamaah untuk lebih pandai dan cerdas (khususnya) dalam mengupas Qur’an dan (umumnya) dalam beragama.

Hal ini sebenarnya mengandung “kerugian” yang potensial. Pertama: menggunakan hadist sebagai acuan sebenarnya “beresiko”, karena ada hadist yang dhoif dan hadist yang palsu. Untuk membedakannya dengan hadist yang benar-benar sahih, lagi-lagi diperlukan pengetahuan yang mendalam tentang Qur’an. Kalau setelah dikroscek dengan Qur’an, ternyata hadist tersebut align, maka bisa dipastikan hadist tersebut sahih. Kalau sebaliknya, berarti hadist tersebut kemungkinan dhoif atau palsu.

Kerugian yang kedua, dan yang paling penting, adalah potensi timbulnya perselisihan. Ada sebagian golongan yang fanatik dengan riwayat/hikayat A. Sebaliknya, ada juga sebagian golongan yang lain yang justru prefer dengan riwayat/hikayat B. Akibatnya, situasi semacam ini justru mengakibatkan materi yang disampaikan seorang ustadz menjadi “debatable“. Lain halnya jika seorang ustadz hanya menggunakan Qur’an sebagai acuan. Mana ada sih yang mau mendebat Qur’an?
Tidak Meminta Bayaran

Seandainya saya seorang ustadz, kemudian diminta mengisi suatu pengajian di sebuah mesjid. Saya cuma “diamplopi” Rp 50 ribu. Seminggu kemudian saya diminta kembali mengisi pengajian di tempat yang sama. Karena tahu bahwa “fee” saya cuma segitu, saya menolak dengan alasan sibuk, atau “meng-outsource” kepada orang lain.

Sikap saya tersebut sebenarnya sudah dinilai salah oleh Allah. Allah berfirman dalam beberapa ayat agar seorang ustadz selayaknya tidak meminta fee atas “jasa” dalam mengisi pengajian, menyampaikan khutbah, atau melakukan syiar agama.

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan kepada Tuhan nya.
~QS. Al Furqaan 57

Katakanlah: “Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran).” Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat.
~QS. Al An’am 90

Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah Aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan.
~QS. Shaad 86

Satu hal yang pasti, ketika seseorang “meminta” atau “menyebut angka” atas jasa yang ia berikan, maka kualitas materi yang disampaikan umumnya akan cenderung menurun, karena terdistorsi terhadap keinginan/hasrat untuk mendapatkan uang/bayaran.

Lebih parah lagi, kebanyakan ustadz adalah (maaf) lulusan IAIN (UIN), Sekolah Tinggi Agama, atau pondok pesantren. Output dari lembaga-lembaga tersebut cukup banyak tetapi lapangan pekerjaan yang tersedia relatif terbatas. Kalau nggak kerja di Pengadilan Agama, jadi dosen/guru agama, ya jadi ustadz.

Akibatnya, menjadi ustadz kemudian dipersepsikan sebagai profesi untuk memenuhi kebutuhan hidup (baca: cari duit); bukan merupakan tanggung jawab untuk melakukan syiar agama. Sebenarnya sih boleh-boleh saja “meminta amplop”. Tetapi tentu saja yang akan didapat hanya sebatas duit saja, bukan pahala atas syiar agama.

Atau, akan lebih bijaksana lagi jika ketika Anda menjadi seorang ustadz, Anda menerima saja berapapun “fee” yang diberikan tanpa pernah meminta. Lalu, “fee” tersebut Anda sumbangkan buat membangun masjid, atau menyantuni fakir miskin dan anak yatim. Itu jelas lebih mulia di sisi Allah ta’ala.
Menyerukan Apa yang Sudah Dilakukan

Inilah tantangan seorang ustadz yang paling berat. Seorang ustadz yang baik dan benar seharusnya sudah melakukan ajaran-ajaran agama dengan baik dan benar, khusyu, selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun; sebelum ia menyampaikannya kepada jamaah. Dengan begitu, apa yang ia sampaikan akan menjadi rahmat bagi jamaahnya. Allah sudah berfirman sebagai berikut.

Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?
~QS. Al Baqarah 44

Sebagai contoh, umpama saya seorang ustadz dan menyerukan kepada santri saya untuk tidak melakukan (maaf) korupsi dan berbuat zina. Faktanya, saya malah sering menyembunyikan dana milik yayasan saya. Saya juga sering berbuat zina dengan perempuan, padahal saya punya istri yang di rumah. Sebaliknya, istri saya justru sering saya pukuli, saya rendahkan martabatnya, dan tidak pernah saya ajak untuk bersujud kepada Allah ta’ala. Maka Allah sebetulnya benar-benar benci kepada orang seperti saya.
Penutup

Saya rasa, beberapa hal tersebut di atas barangkali merupakan faktor-faktor yang menentukan kualitas seorang ustadz. Kita tentu tahu bahwa banyak sekali ustadz-ustadz yang begitu cepat booming tetapi juga tidak lama kemudian langsung tenggelam. Padahal keberadaan seorang ustadz senantiasa mutlak diperlukan guna menjaga keimanan umat.

Dalam Al-Qur’an juga tertulis bahwa salah satu penghuni neraka -selain wanita- adalah ulama. Peringatan ini tentunya harus dicamkan dengan baik. Karena jika tidak, seorang ustadz -yang begitu ditaklidi jamaahnya- bisa dengan mudah men-drive jamaahnya bukan kepada jalan yang lurus. Oleh karenanya, banyak sikap, kemampuan, keterampilan, dan pengetahuan yang wajib dimiliki oleh seorang ustadz.

Last but not least, saya tidak bermaksud mengajak Anda untuk menjelek-jelekkan atau mengelompokkan ustadz-ustadz yang ada. Justru sebaliknya. Saya malah menghimbau buat diri saya pribadi juga buat pembaca sekalian agar kita semua sejak sekarang mulai membiasakan diri untuk menghormati, mendengarkan, dan memperhatikan siapapun ustadz yang menyampaikan materi. Baik itu laki-laki maupun perempuan, masih junior atau sudah senior, dari golongan A atau golongan B, belum ngetop atau sudah lalu-lalang di televisi, dan seterusnya. Allah sendiri telah menuliskan dengan cukup tegas:

Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.
~Al A’raaf 204

Memang benar. Menjadi seorang ustadz atau ulama adalah tugas yang mulia; sekaligus memiliki tanggung jawab yang maha berat. Semoga sedikit uraian ini juga bisa memberi wacana baru bagi “ustadz-wannabe” atau “ulama-wannabe“. Mudah-mudahan semua ini bisa memberikan pemahaman baru dan tidak malah menjadikan fitnah. Amin.

Wassalam,

Sumber :
http://nofieiman.com/2006/09/ciri-ciri-ustadz-yang-baik-dan-benar/
28 September 2006

2 komentar:

  1. Saya salut dgn ulasan ini...memang inilah islam yg sesungguhnya , penuh dengan kebaikan, kelembutan dan kesabaran..kebanyakan manusia lupa akan kandungan alquran sehingga dibutakan mata hati dan pikirannya karena sifat keduniawiannya lebih tinggi dari sifat kerohaniannya...sekali lagi terimakasih kepada penulis...sangat bagus...semoga menjadi berkah bagi kita semua...amiin..

    BalasHapus