Jumat, 13 November 2009

Penghormatan Terhadap Para Ustadz di Tarim, Yaman

Ustadz yang berada di Tarim, Hadramaut, Yaman, mereka sangat dihormati oleh masyarakat, apalagi oleh para murid atau santri-santrinya. Suatu misal, ketika seorang ustadz berjalan melewati sekerumunan para santri, maka mereka serentak menghentikan pembicaraan atau kesibukan mereka guna menghormat pada ustadz yang lewat itu. Para santri berebut berjabatan tangan pada sang ustadz.

Ustadz benar-benar diposisikan sebagai sosok yang dihormati oleh santri-santrinya. Penghormatan itu, tampak dilakukan dengan spontan dan tulus. Apa yang mereka lakukan terasa sekali didorong oleh sebuah kecintaan terhadap guru, dan bukan hal lain. Di Indonesia fenomena seperti itu pada umumnya dapat dilihat di pesantrena. Santri di pesantren modern, yang lembaga itu telah membuka program sekolah umum, sekalipun masih ada penghormatan seperti itu, tetapi sedikit banyak tampak sudah mulai berubah.

Memang di sanatidak sembarang orang dapat melakukan peran sebagai guru. Parasantri, tidak sembarang memilih seorang ustadz. Ustadz yang dikenal alim,banyak didatangi para santri, dan begitu juga sebaliknya. Memang yang sayaceritakan sebagai guru di sini adalah para pengajar di lembaga pendidikanagama, jika di Indonesiasemacam di pesantren. Peran mereka sebagai guru bukan didasarkan semata-matapada ijazah yang telah diraih, melainkan didasarkan pada tingkat ke aliman ataukedalaman ilmunya. Guru hingga dianggap mencapai kealiman tertentu melewatisebuah proses panjang.

Pengakuan itu datang bukan dari para santri, melainkanjutru dari para ustadz seniornya. Seseorang dianggap alim bukan hasil penilaianpara murid, melainkan didasarkan dari penilaian guru-guru yang lebih senior.Ustadz tidak dinilai oleh para santri dari cara mengajarnya, sehingga disebutustadz yang mengajarnya enak atau tidak enak, menarik atau tidak menarik.Tetapi, yang tahu seseorang itu alim atau kurang alim, dari penilaian orangyang memiliki otoritas keilmuan. Atas dasar proses seperti itu, maka sangustadz akan mendapatkan semacam legitimasi dari pihak yang sebenarnya kompetenmenilai.

Pelajaran diberikan di masjid atau di ruang-ruang belajar. Biasanya merekahanya duduk di atas karpet tanpa meja kursi. Meja kecil hanya disediakan untukustadz yang mengajar itu. Ustadz juga duduk di karpet sejajar dengan tempatduduk para ustadz. Para santri yang belajar diTarim, Hadramaut, duduk melingkar mengelilingi tempat duduk sang guru secararapat. Seolah-olah antara tempat duduk ustadz dan santri tidak ada batas.Demikian pula, antara sesama santri duduk dengan merapat. Saya ketikaberkunjung ke Tarim, Hadramaut, mengikuti para santri belajar, melihat bahwaketika masih ada tempat kosong, kurang rapat, maka guru akan memulai memberikanpelajaran meminta agar tempat yang kosongt segera diisi. Dilihat dari caraduduknya saja, sudah menggambarkan betapa hubungan ustadz dengan santrisedemikian dekat. Akan tetapi, kedekatan ustadz dengan santri sama sekali tidakmenjadikan para santri kurang tawadhu’ pada ustadz. Parasantri sangat tawadhu’ pada ustadznya.

Para santri atau murid belajar menggunakankitab acuan tertentu. Beberapa kitab itulah yang dijadikan pegangan dan bahankajian. Di masjid, biasanya dilakukan pada setiap selesai sholat berjama’ah,beberapa santri membentuk kelompok yang disebut halaqoh, dipimpin oleh seorangustadz mengkaji kitab-kitab tertentu. Paraustadz yang mengajar berapa di bawah bimbingan dan pengawasan Syekh yang lebihtinggi. Sama dengan di perguruan tinggi di Indonesia. Seorang guru besardibantu oleh para dosen yunior. Para guruyunior pada waktu-waktu tertentu juga masih belajar ke syekhnya. Sehingga, dilembaga pendidikan agama di sana,terbentuk comunitas menyerupai kerucut, dimulai pada posisi yang paling atasadalah para Syekh, lalu di bawahnya para ustadz dan para ustadz ini membinapara santri-santrinya.

Dilihat dari sisi fasilitas dan pendanaan pendidikan tidak begitu istimewa.Perpustakaan juga tidak terlalu berlebih-lebihan. Buku-buku yang ada, mungkinjuga tidak lebih baik bilamana dibandingkan dengan perpustakaan lembagapendidikan Islam di Indonesia. Bahkan beberapa perpustakaan di Indonesia, padaumumnya lebih baik. Demikian pula, fasilitas lainnya. Akan tetapi, yang agaknyaperlu dikaji lebih lanjut, kualitas hasil pendidikan di sana diakui lebih unggul. Buktinya, setiaptahun santri dan mahasiswa dari Indonesiake Tarim, Hadramaut selalu meningkat jumlahnya. Kenyataan ini menggambarkan,betapa sebagian para tokoh Islam Indonesia mengakui kualitas hasilpendidikan Islam di negeri itu. Padahal kesejahteraan guru di Hadramaut ini,tampaknya juga tidak terlalu tinggi bilamana dibanding dengan guru-guru di Indonesia.

Belajar agama dengan model halaqoh sebagaimana saya lihat di Tarim, Hadramaut,juga saya lihat di masjid-masjid di Qum, Iran. Para jama’ah selesai sholat di masjid, tidak pulang tetapi segera membentuk halaqoh-halaqoh untuk melakukan kajian kitab-kitab tertentu. Masing-masinghalaqoh dipimpin oleh seorang guru, diikuti oleh pululan anggota halaqoh. Paraulama’ di Qum sangat dihormati pula.

Para ulama’ biasanya mengenakan pakaian tertentu, yangdengan mudah dibedakan dengan orang biasa. Mereka biasanya mengenakan bajujubah, berwarna hitam atau coklat lengkap dengan surbannya. Paraulama’ ini, tidak saja bersedia menjadi tutor dalam halaqoh-halaqoh, melainkanjuga bersedia di mana-saja menjelaskan berbagai persoalan agama hingá dipinggir jalan sekalipun. Misalnya, seorang yang lagi berjalan kaki, kemudian ketemu seorang ulama, maka tidak mengapa seorang tersebut meminta ulama’berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sudah barang tentu, seorang ulama tersebut akan melayani dengan penuh kesabaran. Suasana keilmuan seperti itulah kemudian Qum diklaim oleh masyarakatnya sebagai madinatul ilmi.

Keberhasilan pendidikan di dua negeri yang saya lihat tersebut, tampaknya faktor guru merupakan kunci utamanya. Berbicara pendidikan tidak serta merta dikaitkan dengan pembiayaan. Sekalipun biaya selalu penting, tetapi tidak dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan pendidikan.

Kunci keberhasilanpendidikan di sana dianggap terletak pada faktor kualitas gurunya. Sedangkan kualitas di sini, bukan juga semata-mata dilihat dari keluasan ilmu yang disandang, melainkan ada faktor lain seperti keikhlasan, dedikasi, integritas dan kesanggupan untuk mencitai ilmu, termasuk juga orang-orang yang menyandang dan memelihara ilmupengetahuan. Jabatan guru tidak dijadikan sebagai jalan untuk mencari kehidupan. Posisi guru dibedakan dengan posisi pekerja sebagai upaya mendapatkan rizki.

Guru memang selalu memerlukan kecukupan kebutuhan hidup. Tetapi di sana berhasil dibangun sebuah pandangan bahwa menjadi guru bukan dimaksudkan untuk mencari kehidupan, melainkan didorong oleh kecintaan terhadap ilmu sebagai bagian dari kecintaannya terhadap agama yang dipeluknya. Mungkin suasana batin seperti itulah yang menjadikan kualitas pendidikan di negeri itu bisa diwujudkan. Sehingga, proses pendidikan yang dijalani oleh para santri, berhasil melahirkan kader-kader ulama’ sebagaimana yang diharapkan. Allahu a’lam.

Sumber :
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=299%3A9-10-2008&catid=25%3Aartikel-rektor&Itemid=174
13 Desember 2008

1 komentar:

  1. Borgata Hotel Casino & Spa - Mapyro
    Free services for two guests at Borgata Hotel Casino & Spa. Includes business 거제 출장샵 hours, rates & tax. Book online. 제천 출장마사지 No 울산광역 출장마사지 booking 원주 출장안마 fees. 여수 출장샵

    BalasHapus