Jumat, 13 November 2009

Standar Kelayakan Ustadz


–Utawi syarat sahe wong kang ginawe guru iku rinengkes rong perkoro, kang dihin Alim weruh panggerane syariate Nabi Muhammad, Kapindo Adil riwayat ora ngelakoni setengahe dosa gede lan ngekelaken setengahe harom cilik, aran Adil riwayat kumpul papat Islam, Aqil, Baligh ora fasiq.

(Adapun syarat orang yang sah untuk dijadikan sebagai guru, itu teringkas menjadi dua poin, yang pertama Alim yaitu mengetahui dalil syariatnya Nabi Muhammad, Yang Kedua Adil Riwayat yaitu tidak menjalankan sebagian dosa besar atau mengekalkan sebagian dosa kecil, yang di sebut Adil Riwayat itu kriterianya ada empat : Islam, Aqil, Baligh dan tidak fasik.)


Untaian kalimat tersebut dapat dijumpai dalam kitab Takhyiroh Mukhtashor karya Syaikh Ahmad Ar Rifa’i. Dalam menetapkan Syarat seseorang untuk dapat dijadikan sebagai seorang ustadz Syaikh Ahmad Ar Rifa’i sangat ketat bahkan sangat hati-hati, sehingga menimbulkan kesan bahwa penunjukan seseorang sebagai ustadz dilakukan beliau dengan tidak main-main. Hal ini di karenakan bahwa seorang guru tidak hanya bertugas mentransformasi ilmu yang dimilikinya kepada anak didiknya, namun juga harus bisa menjadi tauladan yang baik dan dapat membina akhlak peserta didik agar menjadi insan kamil.

Seorang guru ( Ustadz ) haruslah seorang yang Alim, artinya mengetahui betul seluk beluk syariat Rasulullah SAW. Paham terhadap ayat-ayat ahkam dalam Al Qur’an. menguasai asabaabun nuzul, Gharaibul Alfadz, mengerti tentang hadist ahkam, nasikh dan manshuk dan yang terpenting adalah menguasai metodhe isthimbath yaitu pengambilan dalil dari nash.

Seorang ustadz haruslah mengerti tentang tata bahasa Arab ( Nahwu, Shorof, Badi’, Bayan, Ma’aniy serta sedikit arudh qowafinya) dengan baik. Minimal seorang ustadz haruslah mengerti betul seluk-beluk madzhab yang di ikutinya dan bisa menjelaskan mana qaul mu’tamad dan mana qaul dhaif, mana yang rajih dan mana yang marjuh, serta mengerti apa yang harus diperbuatnya ketika ia mendapati dua nash yang ta’arudz.

Di samping itu, Ustadz haruslah orang yang adil riwayat yaitu sama sekali tidak pernah melakukan dosa besar baik dhohir maupun bathin, dan juga tidak biasa menjalankan dosa kecil, sebab dalam diri seorang ustadz itu ada agama Alloh yang konsekuensinya ia akan menjadi tempat mengadu dan berkeluh kesahnya orang-orang awwam. Jikalau seorang ustadz tidak menjaga dirinya dengan baik serta memenuhi dirinya dengan lumuran dosa dan noda, maka apa yang bisa diambil pelajaran darinya?. Sebagai Uswah mustinya dia memberikan teladan perbuatan dan sikap yang baik, namun kenyataannya dia justru “mengajak” para muridnya untuk mengikuti pola pikirnya dan mencari-cari dalil dalam rangka membenarkan perbuatannya tersebut, sehingga menurut pendapat sebagian orang bahwa tindakannya tersebut sesuai dengan syariat. Ustadz yang seperti ini dikatakan oleh Syaikh Ahmad Ar Rifa’i sebagai Syetan yang mengajak kepada kesesatan. beliau menegaskan.” Barang sopo wonge ora sah gurune wong iku pitakonan, sabab bodo tuwin alim fasik tan taubat, mongko syaithon gurune wong iku sasar brayan.” (Barang siapa yang gurunya tidak sah, baik dikarenakan bodoh ( tidak Alim ) ataupun fasik yang tidak mau taubat ( Tidak Adil Riwayat) maka gurunya adalah syetan yang sesat lagi menyesatkan.)

Kehati-hatian Syaikh dalam menetapkan status ustadz pada seseorang ini lebih kepada usaha pemurnian agama Alloh agar tidak terdistorsi oleh nafsu dan kepentingan pribadi si ustadz yang lambat laun justru akan mengikis ajaran pokok dari agama Islam itu sendiri.

Dari zaman Rasul sampai zaman ulama salafush sholih, Islam selalu disebarkan dengan keteladanan dan akhlak qur’ani, bukan dengan retorika semata. Bahkan amat sedikit jumlahnya para sahabat yang bisa berpidato, rata-rata mereka melakukan dakwah bi haal ( dengan perbuatan), bukan Bil Maqol ( dengan ucapan ).Maka tak heran apabila Hujjatul Islam Al Ghazali mengatakan,” Dizaman Nabi banyak sekali ulama , namun sedikit khuthoba’ (penceramah ), sementara zaman sekarang itu sangat banyak khutobaa’ namun minim ulama.

Lalu apakah yang suka memberika taushiyah diatas mimbar. di radio dan televisi pantas disebut Ustadz…? jawabannya adalah wallohu A’lam, tapi minimal mereka harus bisa membuktikan dan mengaplikasikan syariat Nabi dulu ke dalam kehidupan sehari-harinya, sehingga ajaran Islam itu begitu mendarah daging dalam dirinya, setelah itu barulah seru orang lain agar mengikutinya.

Sumber :
Rifai
http://tanbihun.com/kajian/standart-kelayakan-ustadz/
28 Juli 2009

Sumber Gambar:
http://blog.burhanshadiq.com/wp-content/2008/06/resize-of-resize-of-ustadz.jpg

Biografi Al Ustadz Al Habib Sholeh bin Ahmad Al 'Aydrus

ADDAA’I ILALLAAH AL USTADZ AL HABIB SHOLEH BIN AHMAD AL AYDRUS, MALANG.

Meskipun mempunyai keluasan ilmu, sinar ketawadhuan terpancar di wajahnya. Memberikan keteduhan bagi siapa saja yang memandangnya. Namun, ketawadhu’an dan keramahannya tidak mengurangi ketegasannya dalam masalah hukum Islam.

Beliau adalah Al Habib Soleh bin Ahmad bin Salim Alaydrus, salah seorang ulama yang sangat disegani di Kota Malang. Habib kharismatik ini lahir di Kota Malang pada 18 Juni 1957. Pendidikan dasarnya diperoleh di Madrasah Ibtidaiyah At-Taroqi, Malang, yang dikelola ayahnya sendiri, Habib Ahmad bin Salim Al-Aydrus.

Selesai dari Madrasah Ibtidaiyyah, ia melanjutkan pendidikannya di Tsanawiyah di Ponpes Darul Hadits Al-Faqihiyyah Malang. Di pondok pesantren ini, ia belajar dasar-dasar ilmu hadits langsung dari Habib Abdullah bin Abdul Qadir bin Bilfagih yang di kemudian hari menjadi mertuanya.



Isyaroh Untuk Belajar Kepada As Sayyid Muhammad Al Maliky

setelah belajar di Pondok Pesantren Darul Hadist Al-Faqihiyyah, sekitar tahun 1977, Habib Sholeh Bin Ahmad Al Aydrus mendapat tawaran beasiswa dari negeri Yordania dan Libya. Namun putra Habib Ahmad Bin Salim Al Aydrus (almarhum) ini tidak menerima tawaran beasiswa tadi. Habib Sholeh justru memutuskan berangkat ke Makkah Al Mukarromah untuk berguru kepada Sayyid Muhammad Bin Alawy Al Maliky atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Imam Maliky.

Ihwal dipilihnya Makkah sebagai tempat tholabul 'ilmi (menuntut ilmu) tidak terlepas dari isyarah Habib Sholeh Bin Muchsin Al Hamid (dari Tanggul) yang menyuruh Habib Sholeh pergi ke Makkah Al Mukarromah. "Tuntutlah ilmu ke habibmu di Madinah Al Munawarroh," kata Habib Sholeh Bin Muchsin Al Hamid kepada Habib Sholeh yang masih ada ikatan keluarga. Yang dimaksud habib di sini adalah Rasulullah SAW.

Sehari setelah mendapat isyarah dari Habib Sholeh Bin Muchsin Al Hamid, Habib Sholeh diberitahu pamannya bahwa dirinya sudah ditunggu oleh Imam Maliky di Makkah. Akhirnya berangkatlah Habib Sholeh meninggalkan Indonesia untuk berguru kepada Al-Imam As-Sayyid Muhammad bin Alawy Al-Maliki.

Rupanya bukan hanya Habib Sholeh saja yang berangkat ke Makkah. Beberapa ulama dari kalangan habaib maupun ulama pesantren juga berguru ke Imam Maliky. Teman satu angkatan Habib Sholeh diantaranya Habib Abdul Qadir Bin Muhammad Al Haddad (Al-Hawi), Habib Ahmad Bin Husein Assegaf (Bangil), Habib Muhammad Bin Idrus Al Haddad, Habib Muhammad Bin Husein Alatas (cucu Habib Ali, Bungur), Habib Muhammad Bin Ali Al Habsyi (Probolinggo), KH. Thoefur Arafat (Purworejo), KH Jauhari (Magelang), KH Ali Karar (Madura), dan KH Abdul Muis (Bondowoso).

Begitu sampai di Makkah Habib Sholeh sangat senang karena bisa bertemu dengan Imam Maliky, salah satu waliyullah (Semoga Allah merahmati beliau) yang sangat dihormati. Saat bertemu gurunya itu, Imam Maliky berkata kepada Habib Sholeh, "Aku melihat pada diri kamu ada pancaran cahaya ilmu,". Ungkapan Imam Maliky ini merupakan isyarah bahwa Habib Sholeh dianggap mampu menerima ilmu yang akan diberikan oleh Imam Maliky sekaligus menjadi penyeru ummat di kemudian hari. Sebab ada riwayat yang menyebutkan bahwa Imam Maliky memiliki kemampuan membaca seseorang. Imam Maliky hanya menerima murid baru berdasarkan isyarah yang beliau peroleh.

Selama mondok di Ribbat Maliky, Habib Sholeh tinggal di kediaman Imam Maliky. Jadi setiap hari, Habib Sholeh mengetahui aktivitas Imam Maliky seperti apa. Kediaman Imam Maliky sendiri cukup luas untuk menampung santri yang datang dari berbagai penjuru dunia. Selama mondok di sana, segala keperluan Habib Sholeh dan santri-santri yang lain betul-betul dilayani dengan baik oleh Imam Maliky. Mulai tempat tidurnya, makanannya, hingga kitab-kitabnya, semuanya ditanggung oleh beliau.

Uniknya lagi, setiap santri yang belajar di Baitul Maliky juga mendapatkan uang saku yang nilainya tergolong cukup besar. Kalau TKI (Tenaga Kerja Indonesia) digaji 600 real, santri-santri Imam Maliky diberi uang saku 1.000 real. Habib Sholeh pun juga demikian.

Selama tinggal di sana tiada hari tanpa belajar. Para santri, termasuk Habib Sholeh harus mengikuti jadwal yang wajib ditaati. Jadwalnya sangat padat. Aktivitas pondok dimulai pukul 02.00 dini hari. Saat enak-enaknya tidur, justru disuruh bangun untuk qiyamul lail dan dzikrullah. Semua murid wajib bangun tanpa perkecualian. Aktivitas ibadah pagi-pagi buta ini wajib dilaksanakan oleh semua santri sampai sholat Shubuh tiba.

Sehabis Shubuh dilakukan pembacaan Rotib Al Haddad sampai pukul 07.30. Kalau sudah pukul 07.30 para santri diperbolehkan istirahat sejenak. Setengah jam kemudian belajar lagi sampai jam 1 siang waktunya sholat Dhuhur. Jam 2 siang tancap gas lagi sampai sholat Ashar. Habis sholat Ashar dilanjutkan dengan belajar lagi sampai setengah enam sore. Lalu Maghribnya sholat berjamaah di Masjidil Haram. Dilanjutkan dengan pengajian yang dipimpin Imam Maliky di Masjidil Haram tepatnya di Pintu Babussalam. Mirip pengajiannya Masjid Agung Jami' selepas Maghrib. Pengajian di Masjidil Haram ini selesai setelah Isya'.

Bagi murid-murid Imam Maliky, selepas Isya' belum waktunya istirahat. Mereka harus belajar lagi sampai pukul 21.00 malam. Baru di atas jam 9 malam, murid-murid bisa istirahat setelah seharian menimba ilmu. Tapi esok jam 2 harus bangun lagi untuk melakukan kegiatan rutinitas seperti tadi.

Dalam seminggu, hanya hari Kamis dan Jumat saja yang dijadikan sebagai hari libur. Toh kenyataannya jarang sekali murid-murid Imam Maliky yang memanfaatkan liburnya dengan bersantai dan beristirahat. Biasanya kalau hari Kamis dan Jumat, Imam Maliky mendapati muridnya hanya duduk-duduk saja, maka dipanggilah muridnya itu. Kemudian disuruh menghafalkan hadist dan diskusi soal agama. Jadi sama saja, tidak ada liburnya.

Ketika belajar di Masjidil Haram, para santri Sayyid Maliki ini biasanya duduk sekitar empat sampai lima jam. Padahal banyak santri yang mengeluh sering beser (bolak balik buang air kecil). Kemudian ada beberapa santri memberanikan diri bertanya pada Sayid Muhammad, "Bagaimana kami sering buang air kecil (beser)?". Sayid Muhammad menjawab, "Wahai anak-anakku, air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja. Sekarang berdoalah agar tidak buang air selama di Masjidil Haram." Para santri pun mengikuti anjuran Sayyid Maliki. Akhirnya, meskipun setiap 15 menit para santri minum air zamzam, namun tidak ada yang mengeluh lagi. Memang Rasulullah SAW bersabda, "Air zamzam itu diperuntukkan bagi apa saja, pasti terkabul."

Banyak pengalaman yang menarik selama dia menimba ilmu di Ribath Maliki. Hampir setiap malam Sayid Muhammad Al-Maliki mengajak santri-santrinya ke Masjidil Haram. “Kalau beliau masuk ke masjid, banyak orang yang datang kepadanya. Sayid Maliki sudah menyiapkan sedikit bekal. Dan terkadang dalam tasnya ada uang untuk diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” kenang Habib Soleh mengenai sosok gurunya itu.

Tidak jarang, kata Habib Soleh, hampir semua santrinya diajak ke rumah orang-orang jompo untuk membagi-bagikan bantuan. Selepas itu mereka kembali ke Masjidil Haram untuk mengaji. ”Kami didoakan, insya Allah, menjadi ulama yang barakah dan bermanfaat ilmunya.”

Pola pengajaran yang dilakukan oleh Imam Maliky sangat spesial karena Imam Maliky melakukan pendekatan secara kekeluargaan kepada semua muridnya. Pendekatan yang membuat murid-muridnya merasa termotivasi belajarnya? Dalam setiap pengajaran, Imam Maliky menghilangkan sekat-sekat pemisah antara guru dengan murid. Imam Maliky menganggap muridnya sebagai anaknya. Begitu pula dengan murid beliau. Mereka menganggap Imam Maliky sebagai orang tua sendiri. Karena itu murid-murid Imam Maliky menyebut Imam Maliky dengan sebutan Abuyya yang berarti ayahanda. Rupanya panggilan Abuya ini menjadi inspirasi bagi pondok-pondok di Indonesia, khususnya bagi pengasuh pondok yang pernah mondok di Imam Maliky sana. Akhirnya para santri di Indonesia lazim memanggil kyainya dengan panggilan Abuya.

Karena tinggal di kediaman Imam Maliky cukup lama, Habib Sholeh faham betul kepribadian agung Imam Maliky. Bagi Habib Sholeh Imam Maliky adalah guru yang sangat arif. Meskipun Imam Maliky bermazhab Maliki, kenyataannya Imam Maliky lebih faham Mazhab Syafii. Istilah sekarang, Imam Maliky sangat toleran dengan perbedaan. Selain itu, kalau ada murid yang baru datang ke Makkah, Sayyaid Maliki pasti mengajaknya ke makam Rasulullah di Masjid Nabawi. Juga diajak ke Goa Uhud sekaligus ditunjukkan tempat-tempat di mana Nabi duduk, dan di mana Nabi berdiri. Dengan metode ini, murid pun langsung paham. Teori iya, praktek juga jalan.

Selama 5 tahun dalam gemblengan Imam Maliky, Habib Sholeh sudah mengkhatamkan 100 kitab. Rupanya 5 tahun belajar di Imam Maliky masih dianggap kurang oleh Habib Sholeh. Akhirnya Habib Sholeh menambah lagi mondoknya meski beberapa sahabatnya ada yang sudah kembali ke tanah air untuk berdakwah.



Memantapkan Langkah Dakwah

Setelah menempuh pendidikan di Ribath Maliki selama sepuluh tahun, Habib Soleh pulang ke Indonesia tahun 1988. Kemudian ia menikah dengan putri Habib Abdullah bin Abdul Qadir Bilfagih. Habib Sholeh kemudian mengabdikan ilmunya mengajar di Ponpes Darul Hadits.

Habib Sholeh diwasiati oleh Imam Maliky untuk menjadi penerus dakwah Rasul. "Kuunuu waratsatan nabi shallahhu 'alaihi wasallam," pesan Imam Maliky. Karena itu tidak heran jika pola pengajaran dari sang guru diamalkan betul oleh Habib Sholeh melalui model pengajaran yang simpel tapi tepat sasaran.

Saat ini, selain menjadi pengajar di Pondok Pesantren Darul Hadits Malang, ia juga membuka majelis taklim di rumahnya, Jln. Bareng Raya Gg. 1 No. 2, yang bernama Majelis Taklim wa Dakwah Lil Habib Soleh Al Aydrus. Pengajian dilakukan setiap hari Jumat, Senin, dan malam Rabu. Aktivitasnya memang banyak dicurahkan untuk mengajar. Pada bulan-bulan tertentu, Habib Sholeh juga menyempatkan diri untuk berdakwah di berbagai daerah baik di nusantara maupun di luar negeri seperti di Malaysia, Singapura, dan Brunai Darussalam,

Adapun materi yang disampaikan dalam tiap taklimnya, Habib Soleh merujuk kitab-kitab ulama salaf, seperti dalam bab fiqih (Minhajut-Thalibin, karya Imam Nawawi, Al Muhadzdzab, karya Imam Ishaqi As-Sirazi, Minhajul Qawim, karya Syekh Bafadhal. Jam’ul Jawami, karya Imam Subkhi untuk ushul fiqihnya)

Sedang kitab hadits yang beliau ajarkan adalah Shohih Bukhori, Al Adzkar an-Nawawiyah. Untuk masalah tauhid, beliau mengajarkan kitab Jauharud Tauhid. Adapun untuk masalah tasawuf, kitab yang beliau ajarkan ialah kitab Ihya Ulumiddin, kitab Bidayatul Hidayah, karya Imam Ghazali, kitab Ar-Risaalatul Qusyairiyyah, karangan Imam Qusyairi, kitab Sabilul Iddikaar dan An-Nasaih ad-Diniyah, karya Habib Abdullah Al-Hadad.

Pesan Syekh Maliky agar menjadi penerus nabi telah terbukti. Habib Sholeh telah menjadi jujugan ummat dalam masalah agama dan dakwah. Selain berdakwah lewat taklim, Habib Sholeh juga telah mengarang beberapa kitab yang dijadikan acuan dalam mengajar di banyak pondok pesantren. Lebih dari itu kitab –kitab karangannya juga dijadikan pedoman dalam belajar mengajar di berbagai negara termasuk di Makkah, Madinah, Mesir, Yaman.



Kitab-kitab Susunan Habib Sholeh bin Ahmad Al-Aydrus,

Dalam Bab Hadits : Lafthul Intibahat Fiima Hadzarol Ulama Minat Ta’lifaat, Tuhfatul Akhyaar Fii takhriji maa fii Nashooihi Minal Akhbaar, Faidhul ‘Allam Fii Ahkamis Salaam, Syarhut Targhiib Wat Targhiib (dua juz)

Dalam Bab Fiqih : Amalul Yaumi Wal Lailah, Assyaafiyyah Fii Istilaahatil Fuqohaais Syafiiyyah (dua juz), Is’aaful Muhtaj Fii Syarhil qiilaat Al Murojjahah Fiil Minhaajj, Irsyadul Haair ilaa ‘aadabil Hajji Wal Musaafir Waz Zaair.

Bab Tasawwuf: Al Mawaahibul Jalyyah Fii Mukaatabaati Ahli Maqoomatil Aliyyah, An Nashrul Faaih Fii Tartiibil Fawaatih

Bab Tsaqofah Islamiyyah: Al Faidhul Ilmiyyah Wal Fakahaatul Adabiyyah, Al-mabadiul Asyroh (I’laamul Baroroh Bi mabadil Asyaroh, Fakkul Mughlaqoot Fii bayanii al-Murodaat Mina Alqoob Asmaail Kutubil Mutlaqoot).

Bab Tarikh : Minhaatul Ilaahil Ghoniy Fii Ba’dhi Manaaqibil Imam Alawy bin Abbas Al MalikyAl-Hasani, Lawaamiun Nuris Samii’ Fii Ba’dhi Manaaqibil Imaam Muhammad bin Alwy Al Maliky Al- Hasany

Bab Sastra : Al Lughotul Arobiyyah Lughotul Qur’an, Al Injaaz Fii Amtsalatil ahli Hijaaz, Nailul Arob Bii Muqoddimatil Khutbah

Bab Nahwu : Al-Ghosst An Nahwiyyah

Sumber :
http://madinatulilmi.com/?prm=profil&id=43
13 November 2009

Ustadz Sukanan Ash-Shiddiq, S.Ag

"Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" QS.Al-Anbiya’ : 107)

Siapa yang tidak kenal dengan Trainer Pelatihan Shalat Khusyu’ Shalat Center Jawa Timur ini ? pasti dong kenal..! Dia sangat familier dan komunikatif, siapa lagi kalau bukan sukanan. Pria asal kelahiran kota tahu campur Lamongan 13 Februari 1976. Umurnya yang tergolong masih muda, penampilannya yang bersahaja, lembut / kalem, selalu menebar senyum, dan mau belajar kepada semua orang. Tidak salah kalau sering membuat orang tertipu, tidak tahu bahkan tidak percaya bahwa Dia seorang spiritualis muda, Trainer Shalat Center Jawa Timur yang profesional. Subhanallah…hal itu terbukti kebanyakan jamaah baru percaya (haqqul yakin) setelah ekstas mengikuti pelatihan bersamanya.

Di dukung bakat dan kecerdasannya di bidang spiritual yang ia tekuni bertahun-tahun, wajar mulai tahun 2005 dia terpilih sebagai satu di antara dua Trainer Shalat Center Jawa Timur. Suami dari Anik Alfianah, S.TH ini mendapat amanah dari gurunya Ust. Abu Sangkan untuk menyebarkan shalat khusyu’ ke seluruh wilayah Jawa Timur. Dia sangat sibuk, jadwalnya padat, hari-hari dan waktunya dia habiskan untuk pelatihan shalat khusyu’ dan membimbing halaqah ke daerah-daerah. Sudah sekian ribu jamaah yang sudah ikut pelatihan dengannya. Respon publik luar biasa, komentar dari jamaah sangat positif : Alhamdulillah setelah mengikuti pelatihan shalat khusyu’, shalat saya sekarang tambah khusyu’, betul-betul bisa menikmati sehat jasmani dan ruhaninya shalat. Dulu shalat saya tergesa-gesa ingin cepat selesai, sekarang shalat saya dua rakaat mampu mencapai 30 sampai 40 menit, subhanallah hal ini seperti shalatnya Rasulullah. Dan yang paling signifikan adalah perubahan pada karakternya, yang asalnya temperamen sekarang menjadi penyabar, optimis dalam menghadapi dinamika kehidupan. Dengan Kehendak Allah SWT dalam kurun waktu yang relatif singkat Pelatihan Shalat Khusyu’ sudah menjamur ke seluruh wilayah Jawa Timur dan diterima oleh semua golongan, misalnya Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Lamongan, Pasuruan, Malang, Probolinggo, Jember, Banyuwangi, Jombang, Nganjuk, Kediri, Blitar, Tulungagung dan lain-lain.

Tidak salah Ust.Abu Sangkan memilih sukanan sebagai Trainer Shalat Center Jatim. Karena sebelum bergabung dengan Shalat Center Jatim dan bertemu Ust. Abu Sangkan selama 6 tahun ayah dari Fatimatuz Zahro’ Ash-Shufiyah dan Muhammad Ilham Ramadhan sudah bergelut di dunia pesantren tepatnya Pondok Pesantren Ihyaul Ulum Dukun Gresik, pondok pesantren yang dipimpin oleh DR.K.H. ROBBACH MA’SYUM Bupati Gresik. Di pesantren Ia mendapatkan ilmu-ilmu agama (bahasa Arab, tafsir, balagho, mantiq dan lain-lain). Setelah lulus dari pesantren, dia melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab IAIN Sunan Ampel, lalu gelar sarjana agama disandangnya. Berbagai ilmu pengetahuan agama, aliran-aliran dalam Islam, perbandingan agama dia kuasai dengan sempurna. Meskipun begitu pria yang punya ciri tahi lalat di dagu ini, tidak puas dengan ilmu yang di dapat, lantas sekian tahun lamanya belajar kitab Al-Hikam kepada K.H.Salim Bahresy, guru yang sangat kharismatik, alim, hakim dan wara’(penulis dan penerjemah kitab Tafsir Ibnu Katsir, Riyadhus Shalihin, Al-Hikam dan lain-lain). Dari K.H.Salim Bahresy dia belajar tentang hakikat bertauhid yang benar kepada Allah SWT.

Ketika pertama kali ketemu dengan Ust. Abu Sangkan di hotel Novetel Surabaya, sukanan mendapatkan khazanah keilmuan baru bahwa hakikat shalat khusyu’ adalah dengan ruh, bukan dengan konsentrasi sebaliknya dekonsentrasi. Dan dia di pahamkan bagaimana caranya seorang hamba bertemu dengan Allah. ternyata begitu simple, mudah dan instant, tegasnya.

Semata-mata kehendak Allah akhirnya dia bertemu dengan bapak H. Slamet Utomo guru Ust. Abu Sangkan. Beliau sangat bersahaja, tidak terlihat kalau beliau ahli makrifat. Sukanan terkejut ketika sukanan bersimpuh dihadapannya tiba-tiba beliau bertanya kepada sukanan, kamu keturunan siapa ? sukanan jawab, saya tidak tahu. Karena selama ini dia tidak tahu siapa silsilah setelah kakek nenek moyangnya. Kemudian Beliau berpesan, nanti sesampainya di rumah kamu sungkem di hadapan Ibumu. Semenjak itu, perjalanan sepritual sukanan berkembang dengan pesat. Semoga spritualnya selalu di bimbing Allah SWT, doa Sukanan.

Pria yang selalu mengkampanyekan bersikap kasih sayang antar sesama ternyata juga seorang muballigh, berdakwah keliling memberikan ceramah dari masjid ke masjid, intansi ke instansi. Laki-laki yang mempunyai falsafah hidup ” wamaa arsalnaaka lil’ ’aalamiin ”: ”Kami tidak mengutusmu Muhammad kecuali sebagai rahmatan lil alamiin”. Dari falsafah itu dia mempunyai cita-cita: Sukanan harus menjadi rahmat bagi alam semesta. Sukanan ingin merahmati alam di mana bumi dipijak, tandasnya. Sukanan selalu berusaha menebar kasih sayang kepada semua orang, pantas kalau ia dijadikan referensi atau curhat bagi sahabat, rekan dan ummat khususnya yang mempunyai masalah. Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya, tuturnya dengan penuh keyakinan. Ia sering menterapi pasien-pasiennya (jamaah yang mempunyai masalah) dengan kata hikmahnya (qaulan tsaqila)….Bersama Allah selesai, bersama Allah sukses dan mudah. Ia ISBATUL YAKIN kepada ayat :

Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan Mengadakan baginya jalan keluar. (Ath-Thalaq : 2)

Ia selalu mengawali terapinya dengan bertanya : di mana Allah-mu? kamu ragu kepada Allah kan ? Ia menegaskan…!

la takhaf walaa tahzan innallaha ma’ana

Sontak pasiennya terkejut dan akhirnya sadar, masalah selesai stress nya sembuh. Dia di beri julukan oleh teman-temannya : Psikiater, ahli jiwa, dan ahli neropong. Ah nggak juga sih, yang bisa hanya Allah, yang menyembuhkan Allah, semua Allah, elaknya tanda kesahajaannya.

Sukanan yang biasa memberikan pelatihan shalat khusyu di wilayah Jawa Timur akan bagi-bagi pengalaman tips sukses menjadi Trainer pelatihan dan menjadi peserta pelatihan shalat khusyu’ :


TIPS TRAINER :
Niat Ikhlas
Prinsip ’Umi (aku tidak bisa apa-apa)
Aku tidak melatih tapi aku belajar keTuhanan bersama peserta
Aku belajar kepada Allah
Ridho orang tua
Ridho ustadz
Ridho istri dan anak
Doa Sahabat (sinergi antar tim)


TIPS PESERTA PELATIHAN :
Niat ikhlas
Prinsip ’Umi (aku tidak bisa apa-apa)
Menerima (no blocking mental)
Tawadhu’
Pasrah kepada Allah
Bersuci sambung kepada Allah
Tanggalkan ego, kesombongan
Mengikuti materi atau pelatihan sampai selesai.

Sumber :
http://shalatcenterjatim.org/?page_id=139
27 Maret 2009

Penghormatan Terhadap Para Ustadz di Tarim, Yaman

Ustadz yang berada di Tarim, Hadramaut, Yaman, mereka sangat dihormati oleh masyarakat, apalagi oleh para murid atau santri-santrinya. Suatu misal, ketika seorang ustadz berjalan melewati sekerumunan para santri, maka mereka serentak menghentikan pembicaraan atau kesibukan mereka guna menghormat pada ustadz yang lewat itu. Para santri berebut berjabatan tangan pada sang ustadz.

Ustadz benar-benar diposisikan sebagai sosok yang dihormati oleh santri-santrinya. Penghormatan itu, tampak dilakukan dengan spontan dan tulus. Apa yang mereka lakukan terasa sekali didorong oleh sebuah kecintaan terhadap guru, dan bukan hal lain. Di Indonesia fenomena seperti itu pada umumnya dapat dilihat di pesantrena. Santri di pesantren modern, yang lembaga itu telah membuka program sekolah umum, sekalipun masih ada penghormatan seperti itu, tetapi sedikit banyak tampak sudah mulai berubah.

Memang di sanatidak sembarang orang dapat melakukan peran sebagai guru. Parasantri, tidak sembarang memilih seorang ustadz. Ustadz yang dikenal alim,banyak didatangi para santri, dan begitu juga sebaliknya. Memang yang sayaceritakan sebagai guru di sini adalah para pengajar di lembaga pendidikanagama, jika di Indonesiasemacam di pesantren. Peran mereka sebagai guru bukan didasarkan semata-matapada ijazah yang telah diraih, melainkan didasarkan pada tingkat ke aliman ataukedalaman ilmunya. Guru hingga dianggap mencapai kealiman tertentu melewatisebuah proses panjang.

Pengakuan itu datang bukan dari para santri, melainkanjutru dari para ustadz seniornya. Seseorang dianggap alim bukan hasil penilaianpara murid, melainkan didasarkan dari penilaian guru-guru yang lebih senior.Ustadz tidak dinilai oleh para santri dari cara mengajarnya, sehingga disebutustadz yang mengajarnya enak atau tidak enak, menarik atau tidak menarik.Tetapi, yang tahu seseorang itu alim atau kurang alim, dari penilaian orangyang memiliki otoritas keilmuan. Atas dasar proses seperti itu, maka sangustadz akan mendapatkan semacam legitimasi dari pihak yang sebenarnya kompetenmenilai.

Pelajaran diberikan di masjid atau di ruang-ruang belajar. Biasanya merekahanya duduk di atas karpet tanpa meja kursi. Meja kecil hanya disediakan untukustadz yang mengajar itu. Ustadz juga duduk di karpet sejajar dengan tempatduduk para ustadz. Para santri yang belajar diTarim, Hadramaut, duduk melingkar mengelilingi tempat duduk sang guru secararapat. Seolah-olah antara tempat duduk ustadz dan santri tidak ada batas.Demikian pula, antara sesama santri duduk dengan merapat. Saya ketikaberkunjung ke Tarim, Hadramaut, mengikuti para santri belajar, melihat bahwaketika masih ada tempat kosong, kurang rapat, maka guru akan memulai memberikanpelajaran meminta agar tempat yang kosongt segera diisi. Dilihat dari caraduduknya saja, sudah menggambarkan betapa hubungan ustadz dengan santrisedemikian dekat. Akan tetapi, kedekatan ustadz dengan santri sama sekali tidakmenjadikan para santri kurang tawadhu’ pada ustadz. Parasantri sangat tawadhu’ pada ustadznya.

Para santri atau murid belajar menggunakankitab acuan tertentu. Beberapa kitab itulah yang dijadikan pegangan dan bahankajian. Di masjid, biasanya dilakukan pada setiap selesai sholat berjama’ah,beberapa santri membentuk kelompok yang disebut halaqoh, dipimpin oleh seorangustadz mengkaji kitab-kitab tertentu. Paraustadz yang mengajar berapa di bawah bimbingan dan pengawasan Syekh yang lebihtinggi. Sama dengan di perguruan tinggi di Indonesia. Seorang guru besardibantu oleh para dosen yunior. Para guruyunior pada waktu-waktu tertentu juga masih belajar ke syekhnya. Sehingga, dilembaga pendidikan agama di sana,terbentuk comunitas menyerupai kerucut, dimulai pada posisi yang paling atasadalah para Syekh, lalu di bawahnya para ustadz dan para ustadz ini membinapara santri-santrinya.

Dilihat dari sisi fasilitas dan pendanaan pendidikan tidak begitu istimewa.Perpustakaan juga tidak terlalu berlebih-lebihan. Buku-buku yang ada, mungkinjuga tidak lebih baik bilamana dibandingkan dengan perpustakaan lembagapendidikan Islam di Indonesia. Bahkan beberapa perpustakaan di Indonesia, padaumumnya lebih baik. Demikian pula, fasilitas lainnya. Akan tetapi, yang agaknyaperlu dikaji lebih lanjut, kualitas hasil pendidikan di sana diakui lebih unggul. Buktinya, setiaptahun santri dan mahasiswa dari Indonesiake Tarim, Hadramaut selalu meningkat jumlahnya. Kenyataan ini menggambarkan,betapa sebagian para tokoh Islam Indonesia mengakui kualitas hasilpendidikan Islam di negeri itu. Padahal kesejahteraan guru di Hadramaut ini,tampaknya juga tidak terlalu tinggi bilamana dibanding dengan guru-guru di Indonesia.

Belajar agama dengan model halaqoh sebagaimana saya lihat di Tarim, Hadramaut,juga saya lihat di masjid-masjid di Qum, Iran. Para jama’ah selesai sholat di masjid, tidak pulang tetapi segera membentuk halaqoh-halaqoh untuk melakukan kajian kitab-kitab tertentu. Masing-masinghalaqoh dipimpin oleh seorang guru, diikuti oleh pululan anggota halaqoh. Paraulama’ di Qum sangat dihormati pula.

Para ulama’ biasanya mengenakan pakaian tertentu, yangdengan mudah dibedakan dengan orang biasa. Mereka biasanya mengenakan bajujubah, berwarna hitam atau coklat lengkap dengan surbannya. Paraulama’ ini, tidak saja bersedia menjadi tutor dalam halaqoh-halaqoh, melainkanjuga bersedia di mana-saja menjelaskan berbagai persoalan agama hingá dipinggir jalan sekalipun. Misalnya, seorang yang lagi berjalan kaki, kemudian ketemu seorang ulama, maka tidak mengapa seorang tersebut meminta ulama’berhenti untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Sudah barang tentu, seorang ulama tersebut akan melayani dengan penuh kesabaran. Suasana keilmuan seperti itulah kemudian Qum diklaim oleh masyarakatnya sebagai madinatul ilmi.

Keberhasilan pendidikan di dua negeri yang saya lihat tersebut, tampaknya faktor guru merupakan kunci utamanya. Berbicara pendidikan tidak serta merta dikaitkan dengan pembiayaan. Sekalipun biaya selalu penting, tetapi tidak dipandang sebagai faktor penentu keberhasilan pendidikan.

Kunci keberhasilanpendidikan di sana dianggap terletak pada faktor kualitas gurunya. Sedangkan kualitas di sini, bukan juga semata-mata dilihat dari keluasan ilmu yang disandang, melainkan ada faktor lain seperti keikhlasan, dedikasi, integritas dan kesanggupan untuk mencitai ilmu, termasuk juga orang-orang yang menyandang dan memelihara ilmupengetahuan. Jabatan guru tidak dijadikan sebagai jalan untuk mencari kehidupan. Posisi guru dibedakan dengan posisi pekerja sebagai upaya mendapatkan rizki.

Guru memang selalu memerlukan kecukupan kebutuhan hidup. Tetapi di sana berhasil dibangun sebuah pandangan bahwa menjadi guru bukan dimaksudkan untuk mencari kehidupan, melainkan didorong oleh kecintaan terhadap ilmu sebagai bagian dari kecintaannya terhadap agama yang dipeluknya. Mungkin suasana batin seperti itulah yang menjadikan kualitas pendidikan di negeri itu bisa diwujudkan. Sehingga, proses pendidikan yang dijalani oleh para santri, berhasil melahirkan kader-kader ulama’ sebagaimana yang diharapkan. Allahu a’lam.

Sumber :
http://www.uin-malang.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=299%3A9-10-2008&catid=25%3Aartikel-rektor&Itemid=174
13 Desember 2008

Ustadz Hasan Saifouridzal: Berdakwah di Negeri Singa

Sudah menjadi cita-cita yang terpatri dalam dirinya, suatu saat kelak ia dapat menyebarkan dakwah Islamiyah dan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah ke seluruh pelosok Singapura, tanah kelahirannya.

Saifouridzal lahir di tengah-tengah keluarga yang sederhana. Sejak kecil, putra pasangan Haji Rahamat bin Abdullah dan Hajah Norimah binti Mohd Shariff ini sering dibawa ke majelis-majelis yang penuh kebaikan oleh ayahnya. Di antaranya, pada majelis dzikir Thariqah Qadiriyah wan Naqsyabandiyah, yang pada saat itu dipimpin oleh K.H. Hassan Asy'ari bin Musthafa Bakri, setiap hari Ahad malam Senin, di Masjid Alkaff, dan hari Kamis malam Jum’at, di majelis ta'lim di kediaman K.H. Hassan Asy’ari sendiri, serta banyak lagi majelis yang telah ia kunjungi di masa kecilnya.

Minatnya untuk mendalami agama secara khusus sudah tumbuh sejak kecil. Ketika tengah duduk di bangku sekolah pemerintah (sekolah negeri) tingkat SD, ia masuk pada salah satu madrasah di Singapura, Madrasah Wak Tanjong Al-Islamiah (MWTI), tahun 1989, di bawah asuhan Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib, yang dijalaninya selama lima tahun.

Sangat Cinta Ilmu
Ustadz Hasan memang sosok pemuda yang sangat cinta ilmu. Tidak mengherankan, saat ditanya kenangan apa yang paling berkesan di masa kecilnya, baginya kenangan saat permohonanannya untuk masuk madrasah yang sejak lama diidamkannya diterima oleh pihak madrasah adalah yang paling berkesan dalam kehidupannya.

Pengalaman itu memang menjadi langkah kaki pertama baginya yang sangat menentukan perjalanan hidupnya kemudian dalam menapaki jenjang pendidikan ilmu-ilmu agama selanjutnya.

Karena belum memiliki dasar pengetahuan yang memadai, pada saat diterima di MWTI ia diharuskan untuk memulai pelajaran dari tingkat dasar. Ia diperintahkan untuk menghafal surah-surah pendek (Juz 'Amma) dan bertutur bahasa Arab.

Ia pun terkenang dengan seseorang yang selalu memberinya motivasi, terutama pada saat ia tidak dapat memahami atau menghafal surah, atau tidak dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab secara benar, yaitu mudir madrasah MWTI, Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib.

Di mata Ustadz Hasan, Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib adalah sosok seorang guru yang amat tegas dan dedikasinya sangat tinggi. Sikap sang guru, yang sering memarahi dan menghukum setiap murid karena tugas yang diberikan tidak diselesaikan, ia anggap sebagai sebuah dorongan. Hal itu bukanlah untuk menakut-nakuti murid-muridnya, melainkan merupakan cara agar para muridnya mempunyai adab dalam menuntut ilmu maupun pada saat berhadapan dengan guru.

Berbagai kesan yang ia dapat dari sang guru inilah yang mendorong dirinya melanjutkan pendidikan ke sebuah pondok pesantren lainnya untuk memperbaiki kelemahan dan menambah kekurangan yang ada pada dirinya. Ia pun menemui Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib untuk keperluan itu dan kemudian mendapat restu darinya.

Sang guru berpesan, “Tatkala menimba ilmu kelak, timbalah ilmu dengan penuh rasa ikhlas, dan jangan pernah bangga dengan ilmu yang didapat. Bila nanti telah selesai menjalani pendidikan di pondok pesantren, janganlah lupa akan semua guru yang telah mendidiknya; dan bila telah kembali ke tanah air, kenanglah madrasah yang pernah berjasa.”

Pesan Ustadz Haji Mohd Noor bin Taib itu tidak pernah dilupakannya. Hingga sekarang, ia selalu menyempatkan diri mengunjungi madrasahnya itu.

Setelah menyelesaikan pendidikan hingga kelas 6 di MWTI, ia semakin bergairah untuk menuntut ilmu.

Terbersit keinginan di dalam hatinya untuk dapat menimba ilmu di luar tanah kelahirannya. Maka orangtuanya kemudian mengemukakan hal itu kepada K.H. Hasan Asy'ari. Ulama inilah yang kemudian mengatur segala sesuatunya hingga ia dapat mencapai keinginannya itu dengan mondok di Pesantren Zainul Hasan Genggong, Probolinggo, Jawa Timur, pada tahun 1993.

Sewaktu ia tiba di Pondok Pesantren Zainul Hasan, pengasuh pesantren, yaitu K.H. Hasan Mutawakkil Alallah, putra K.H. Hasan Saifouridzal, menambah namanya, yang semula hanya bernama Hasan menjadi Hasan Saifouridzal, sebagai tabarrukan kepada K.H. Hasan Saifouridzal dan Pondok Pesantren Zainul Hasan.

Menimba ilmu di Pondok Pesantren Zainul Hasan merupakan salah satu episode kehidupannya yang tak terlupakan. Pada saat itu ia mulai dapat belajar mandiri, tanpa didampingi orangtua dan keluarga. Pengalamannya ini menjadi bekal yang berharga bagi kelanjutan pendidikannya kelak.

Di pesantren tersebut, ia belajar dan mengkaji kitab kuning dengan menggunakan bahasa Jawa. Pengalaman yang sangat berkesan baginya. Bahkan, metode yang digunakan di Pesantren Zainul Hasan berikut penggunaan bahasa Jawa yang dipakai saat mengkaji kitab dalam hal-hal tertentu hingga sekarang masih ia praktekkan di majelis-majelisnya.
Indahnya Perbedaan
Setelah ia menyelesaikan pelajaran di Pesantren Zainul Hasan, orangtuanya datang ke pesantren dan memohon pamit untuk membawa pulang dirinya ke tanah airnya, Singapura. Saat itu, Kiai Mutawakkil, pengasuh pesantren, menasihatinya agar melanjutkan pelajaran ke Hadhramaut. Ia pun meminta bantuan petunjuk dengan beristikharah kepada Allah SWT.

Pada saat lainnya, orangtuanya berjumpa dengan Syaikh Mahmood bin Hasan Al-Khatib, salah seorang anggota keluarga seorang ulama besar Singapura, Al-Marhum Al-'Allamah Syaikh Omar bin Abdullah Al-Khatib, dan membicarakan keinginan putranya untuk melanjutkan pendidikan ke Hadhramaut.

Usai bertemu orangtua Ustadz Hasan, Syaikh Mahmood menyampaikan hal itu kepada Habib Abdul Kader bin Ali bin Esa Al-Haddad.

Gayung bersambut, ia akhirnya mendapat beasiswa dari persatuan komunitas Arab di Singapura, Al-Wehdah. Bahkan kemudian Habib Abdul Kader Al-Haddad yang mengurus segala keperluan dirinya hingga ia dapat sampai ke Darul Musthafa, Hadhramaut.

Setibanya di Hadhramaut, ia belajar untuk lebih mandiri, karena suasananya jauh berbeda dari pesantren. Termasuk para guru yang membimbingnya di sana. “Jika di pesantren, kita lebih mengenali para kiai. Di Hadhramaut, kita menimba ilmu dari para sadatuna Alawiyyin dzurriyatur Rasul SAW,” katanya.

Karena itu, selama di sana ia banyak menyempatkan diri untuk berziarah ke maqam habaib, yang biasanya ia ziarahi setiap Jum’at pagi, bersama para santri Darul Musthafa lainnya, di bawah pimpinan Habib Ali Masyhur bin Muhammad Bin Hafidz, kakak Habib Umar.

Di sana, ia memiliki pengalaman berjumpa dengan orang-orang dari berbagai suku bangsa. Keindahan perbedaan itu sangat terasa baginya. Walau berbeda, sesungguhnya mereka menuju arah satu tujuan, yaitu mendalami ilmu-ilmu agama.

Di sana pula ia baru mengetahui bahwa bahasa Arab mempunyai dialek yang berbeda-beda, yang semuanya penting untuk dipelajari, agar seseorang dapat berkomunikasi dengan bahasa Arab secara tepat.

Cuacanya pun sangat berbeda. Hadhramaut adalah negeri padang pasir, yang memiliki perubahan musim dengan waktu enam bulan musim dingin dan enam bulan musim panas.

Maka demikianlah, hari demi hari ia jalani sebagai salah seorang santri Darul Musthafa, di bawah bimbingan langsung sang murabbi (pendidik), Habib Umar bin Muhammad Bin Hafidz. Begitu banyak kesan mendalam yang ia dapati di Pesantren Darul Musthafa, yang penuh barakah, terutama kalam-kalam Habib Umar, yang hingga sekarang masih segar dalam ingatannya.

Pintu Hati yang Terketuk
Ia juga mengenang sistem pembelajaran di Darul Musthafa yang sangat berkesan baginya. Kesan itu begitu kuat ia rasakan, di antaranya disebabkan sosok Habib Umar Bin Hafidz, yang, dalam menyampaikan ilmu ataupun nasihat, selalu penuh semangat.

Di matanya, setiap kali Habib Umar berbicara, seperti ada tenaga luar biasa yang keluar dari diri sang guru. Apalagi saat Habib Umar berdoa, “Setiap pintu hati kita seperti diketuk, dan mengalirlah air mata tanpa kita sadari,” kenangnya terhadap sosok sang guru. Pendek kata, ujung rambut hingga ujung kaki Habib Umar, di mata Ustadz Hasan, penuh dengan hikmah, yang bersumber dari sunnatullah dan sunnaturrasul.

Suatu ketika sewaktu ia sedang berada di rumah sang guru, tiba-tiba aliran listrik terputus dan lampu-lampu di rumah itu pun padam. Padahal, pada saat itu Habib Umar sedang membaca sebuah kitab. Timbul inisiatif dari dirinya untuk membuka jendela agar cahaya lampu dari Darul Musthafa, yang letaknya bersebelahan dengan kediaman Habib Umar, dapat masuk ke rumah Habib Umar.

Baru saja ia membukanya, Habib Umar menyuruhnya untuk menutupnya kembali, seraya mengatakan bahwa cahaya yang masuk ke rumahnya adalah cahaya lampu yang diwakafkan ke Darul Musthafa, jadi bukan cahaya yang diperuntukkan buat menerangi rumahnya. Dari kejadian ini ia kembali mendapat pelajaran yang begitu berharga, yang menunjukkan kewibawaan guru yang mulia itu. Sosok Habib Umar memang sangat membekas kuat di hatinya.

Menurutnya, setiap kalam yang diucapkan Habib Umar tidak terlepas dari ruh kalam para salafush shalih, seperti kalam Al-Imam Al-Haddad atau Al-Imam Al-Ghazali. Di antara perkataan Habib Umar yang selalu ia ingat adalah, “Sebarkan dakwah dengan hati yang tulus dan ikhlas, dan jangan sekali-kali riya’ dalam berdakwah. Jangan mencari kebenaran, pangkat, dan pujian dari makhluk, tetapi carilah kebenaran, pangkat, dan pujian dari Yang Maha Pencipta, Allah Azza wa Jalla.” Kalam gurunya inilah yang tampaknya menjadi semangat untuk berdakwah di Singapura dan menyebarkan panji-panji syari’at Rasulullah SAW.

Mewujudkan Cita-cita
Sepulangnya dari Tarim, Hadhramaut, ke tanah airnya di Singapura, ia langsung terjun di dunia dakwah. Karena memang sudah menjadi cita-cita yang terpatri dalam dirinya bahwasanya suatu saat kelak ia dapat menyebarkan dakwah Islamiyah dan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah ke seluruh pelosok Singapura, tanah kelahirannya.

Menuntut ilmu di Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo, maupun di Pesantren Darul Musthafa Hadhramaut, benar-benar merupakan bekal penting dalam kehidupannya. Dalam rentang waktu yang tidak singkat, ia harus berjauhan dengan keluarga yang amat dicintainya. Namun demikian, sepenuhnya ia menyadari bahwa itu semua adalah demi kebaikan dirinya.

Tekadnya yang kuat dalam menuntut ilmu didasari pandangan dirinya bahwa setiap penuntut ilmu haruslah ikhlas, harus sering taqarrub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah), dan harus sering menjalin hubungan dengan gurunya, sebagai pembimbing ruhani dirinya.

Di antara kegiatan dakwahnya saat ini adalah mengajar di beberapa masjid di Singapura, seperti di Masjid Al-Muttaqin, Masjid Abdul Razak, Masjid Al-Ansar, Masjid Mydin Riyadus Salihin, di sebuah surau pada sebuah kampung Melayu, di majelis rauhah di kediaman Habib Abdul Kader bin Ali bin Esa Al-Haddad, seorang tokoh habaib di Singapura, dan di kediamannya sendiri. Majelis rauhah di kediaman Habib Abdul Kader adalah majelis yang telah berjalan lebih dari 20 tahun dan saat ini berada di bawah pimpinan Mufti Negara Singapura, Habib Esa bin Mohd Bin Smith.

Ia juga mengisi waktunya dengan aktif bergerak di sebuah lembaga travel haji, yaitu di TM Fouzy Travel & Tours Ptd Ltd sebagai mutawif haji (pembimbing haji). Lembaga travel tersebut milik Ustadz Tengku Mohd Fouzy, salah seorang ulama senior yang disegani masyarakat Singapura. Karena kedekatannya dengan Ustadz Tengku Mohd Fouzy, jika Ustadz Tengku Mohd Fouzy sedang berhalangan hadir, Ustadz Hasan diminta untuk menggantikannya di setiap majelis pengajian yang ia pimpin.

Baginya, setiap orang yang bersungguh-sungguh terjun di dunia dakwah pasti mendapat rintangan. Banyak pengalaman yang telah ia dapat, berbagai rintangan dan cobaan selama ia menjalani aktivitas dakwah di jalan Allah. Mengenai hal ini, dengan merendah ia mengatakan, “Oleh yang demikian, tidak dapat saya menyatakan suka dan dukanya berdakwah. Hanya Allah SWT yang mengetahuinya.”

Muhammad, atau Fatimah
Semua yang telah diraihnya saat ini tak terlepas dari keberkahan doa dan usaha kedua orangtuanya. Sekalipun sang ayah hanya berprofesi sebagai seorang tukang pangkas rambut dan ibunya seorang ibu rumah tangga, dengan keberkahan rizqi yang halal akhirnya ia pun dapat terus melanjutkan pendidikan formalnya, bahkan hingga ke perguruan tinggi. Alhamdulillah, saat ini kedua orangtuanya masih dalam kondisi sehat walafiat.

Akhir 2006, Ustadz Hasan menikah dengan seorang wanita shalihah, Suryati binti Abdul Rahim. Ia sungguh beruntung beroleh istri yang shalihah ini, yang selalu memberinya semangat dalam berdakwah. Saat ini ia tengah menanti kehadiran buah hatinya, yang akan menjadi cahaya mata yang pertama di dalam rumah tangganya.

Berdasarkan perhitungan medis, anak pertamanya ini insya Allah akan lahir pada bulan Oktober 2009. Sekalipun belum terlahir, rupanya keberuntungan sudah berada pada buah hatinya itu. Jauh-jauh hari ia telah mendapat nama dari Habib Umar Bin Hafidz.

Suatu saat, setelah selesai sebuah acara di Masjid An-Nahdhah, Singapura, Habib Umar pulang ke kediaman Habib Abdul Kader, dan ia pun mendampinginya. Saat itu ia memohon barakah doa Haib Umar agar kehamilan istrinya dilindungi Allah, sekaligus memohon kiranya Habib Umar memberikan nama pada bayi tersebut kelak.

Dengan suaranya yang lembut dan senyumannya yang khas, Habib Umar mengatakan, kalau nanti terlahir putra, hendaknya dinamakan Muhammad, dan kalau putri, hendaknya dinamakan Fatimah. IY

Sumber :
http://www.majalah-alkisah.com/index.php?option=com_content&view=article&id=286:ustadz-hasan-saifouridzal-berdakwah-di-negeri-singa-&catid=26:profile-tokoh&Itemid=34
13 November 2009

Selamat Berjuang, Ustadz!

"Eh, assalamu'alaikum, ustadz," sapaku sambil tersenyum dan hampir saja tergagap saat itu. Sesaat ketika menoleh seusai aku mengambil air wudhu di tempat wudhu yang terletak di pelataran samping bawah mesjid itu.

Beliau kemudian menjawab salamku dan kami pun berjabat tangan, erat sekali. Aku merasa ini untuk kali pertamanya aku bertemu kembali dengan beliau, setelah entah berapa lama aksi-aksi sudah jarang lagi kami lakukan di jalanan ibukota. Mungkin kalaupun aku bertemu beliau setelah momen-momen aksi tersebut, paling juga di beberapa kesempatan kampanye menjelang pemilu legislatif beberapa saat yang lalu saja. Itupun hanya dari kejauhan.

Kami kemudian berjalan beriringan, menaiki satu persatu anak tangga berlapis keramik yang warnanya kini mulai memudar. Aku masih saja memperhatikan gerak beliau. Semangatnya masih cukup membuat kami bangga, padahal di usia beliau seperti sekarang, banyak orang lebih memilih untuk pensiun dini, memilih untuk bisa beristirahat lebih awal dari masalah-masalah yang dihadapinya. Tapi ternyata justru lain dengan beliau, beliau sepertinya justru semakin hari semakin bersemangat saja mengurusi ummat.

Dzuhur memang masih sekitar setengah jam lagi menjelang. Suasana mesjid berlatar putih itu kini terasa semakin bertambah sejuk, ketika angin-angin dingin mulai masuk dan berhembus melalui jendela-jendela yang terbuka hampir di sekelililing ruangan masjid. Dari sana aku bisa menatap dedaunan yang melambai-lambai para pengguna jalanan yang melintas di hadapannya serta mengajak bersegera mempersiapkan diri untuk menunaikan Dzuhur, tepat di awal waktu.

Setelah tahiyyatul masjid, aku beringsut menuju tempat duduk beliau. Ingin rasanya aku mendengarkan kembali tausyiah-tausyiahnya yang biasanya selalu saja berhasil membuka mata hati ini. Membuka dan menyadarkan atas kealfaan diri, hingga mampu membawa kembali pada kobaran semangat untuk memperbaikinya setelah itu.

Perbincangan kami pun berlanjut mengisi waktu sebelum Dzuhur siang itu.

Sesaat aku menunjukkan kepada beliau sebuah tulisan di sebuah media. Tentang kontroversi pengesahan sebuah Rancangan Undang-Undang menjadi sebuah Undang-Undang, yang mengangkat satu tema tentang Pornografi dan Pornoaksi, yang baru saja disahkan oleh para anggota Dewan beberapa bulan yang lalu.

"Ini yang membuat aneh bagi saya, ustadz," jawabku saat itu ketika beliau bertanya tentang apa maksudnya aku menyodorkan tulisan tersebut. "Ternyata masih banyak kalangan yang menolak hal ini. Dan yang ironis, justru banyak pula dari mereka adalah justru kalangan perempuan. Padahal bukankah ini justru lebih banyak untuk melindungi mereka? Lebih banyak untuk mengangkat harkat dan martabat mereka?" lanjutku berapi-api.

Ia hanya tersenyum, sebelum akhirnya menjawab pertanyaanku.

"Itulah, akhi, sebetulnya ini memang permasalahan ummat yang cukup rumit. Ini menjadi 'PR' besar bagi kita untuk menyadarkan mereka yang saat ini mungkin masih terlalu asyik dengan hal-hal yang justru akan semakin jauh menempatkan mereka pada wanginya surga."

"Mereka terlalu takut ketika hal itu dilaksanakan sepenuhnya, maka tak ada lagi mata pencaharian bagi mereka. Tak ada lagi ladang usaha bagi mereka untuk mengais rezeki. Padahal, wallahi, bukankah justru Allah akan memberkahi rezeki pada setiap hambaNya itu jika hambaNya tersebut mendapatkannya dengan jalan yang halal, serta dari pintu yang halal juga," tutur beliau panjang lebar.

"Insya Allah ini menjadi satu ladang amal lagi buat kita, akhi. Menyadarkan mereka secara bertahap, hingga akhirnya bisa meraih hasil yang maksimal. Menyadarkan mereka hingga akhirnya mereka bisa bersama-sama dengan kita menghirup nafas-nafas kerinduan akan keridhaan Allah, bukan justru malah menyebabkan mereka benci dan menjauh dari kita."

Aku hanya mengangguk-angguk, merangkai angan, membayangkan beberapa usaha dan upaya dari beberapa saudara kita yang mungkin salah satunya membuat mereka justru lari dan semakin menjauh dari kita.

"Terus menurut ustadz, apa upaya dari anggota Dewan yang telah menyetujui pengesahan Undang-Undang tersebut menjadi sesuatu hal yang percuma dan sia-sia? Ketika kini ternyata tak ada sedikit pun beda dalam kenyataannya? Pornografi dan Pornoaksi justru rasanya malah makin menjadi," lanjutku.

"Insya Allah, ini salah satu yang kita agendakan juga bersama rekan-rekan yang lain. Rekan-rekan yang ada di parlemen, rekan-rekan yang ada di eksekutif, semuanya secara perlahan namun tetap berusaha maksimal untuk bisa secepat mungkin membenahi ummat ini. Rekan-rekan di parlemen telah berusaha maksimal, dan alhamdulillah ternyata Allah menganugerahkan ridhaNya hingga akhirnya Undang-Undang tersebut dapat disahkan. Dan sekarang, do'akan semoga rekan-rekan di eksekutif pun bisa segera memaksimalkan usahanya untuk ini," lanjut beliau.

"Iya betul, ustadz. Terus, harapan saya mungkin di kemudian hari sepertinya kita sudah saatnya untuk bisa berada pada posisi-posisi penting yang menjadi tombak pelaksanaan Undang-Undang tersebut ya, ustadz? Siapa tahu mungkin misalnya kalo ustadz yang menjadi Menkominfo bisa sesegera mungkin memberantas pornografi di media. Hehe..," candaku.

Kami berdua terkekeh.

"insya Alllah. Insya Allah, akhi. Mohon do'anya saja semoga di mana pun tempat kita berada, sebagai apa pun posisi kita di masyarakat, kita bisa memaksimalkan upaya untuk memberantas hal itu," sambut beliau.

Lantunan ayat Al-Qur'an semakin terdengar jelas saat itu, hingga akhirnya adzan pun berkumandang. Dan aku pun terkejut, ketika mendapati tubuh ini terlelap di atas sajadah setelah menunaikan tahajud beberapa waktu yang lalu. Ternyata aku bermimpi. Dan adzan yang berkumandang itu kini ternyata bukan adzan Dzuhur yang kami nantikan seperti dalam mimpi tadi, namun justru adzan shubuh, yang telah membangunkan ummat-ummat Muhammad untuk segera berdiri menghadap panggilan suci.

(Sebuah catatan atas mimpi yang belum pernah terlaksana dalam nyata, berbincang dengan beliau, Ustadz Tifatul Sembiring. Semoga Allah memberikan kekuatan dan kemampuan untuk mengemban amanah sebagai salah satu ujung tombak pembenahan ummat, sebagai Menkominfo 2009-20014. Barakallahulaka, Selamat Berjuang, Ustadz!)

Sumber :
Dikdik Andhika Ramdhan
http://kotasantri.com/pelangi/pernik/2009/11/01/selamat-berjuang-ustadz
1 November 2009

Menyaksikan Momen “Quantum Giving” Bersama Ustadz Yusuf “Nemo” Mansur

Akhirnya kemarin saya ditakdirkan Allah bertemu langsung dengan Ustadz yang tengah naik daun dan diperbincangkan di mana-mana ini. Saya termasuk yang tertinggal mengikuti perkembangan ini. Sejak Aa Gym “turun gunung” saya memang agak kurang mengikuti perkembangan terkini dakwah yang dilakukan oleh dai-dai selain beliau.

Ustadz Yusuf Mansur adalah sosok yang sangat bersahaja, cepat sekali akrab dengan tamunya. Saya merasa tidak sedang berbicara dengan seorang ustadz dengan jutaan pengikut. Saya merasa bertemu dengan kawan baru saja. Yang mengejutkan, selesai memimpin shalat Maghrib berjamaah, beliau meminta jamaahnya untuk berdoa membacakan Al Fatihah untuk kami, tamu dari Komunitas Tangan Di Atas. Subhanallah.

Kedatangan saya bersama Pak Try Atmojo dan Pak Wahyu Hidayat adalah atas undangan staf ustadz penggagas gerakan sedekah nasional ini. Rupanya beliau tertarik dengan Komunitas TDA dan ingin berkolaborasi membuat sesuatu yang bermanfaat bagi orang banyak. Alhamdulillah, kami merasa mendapat kehormatan atas ajakan ini. Beberapa rencana tindak lanjut telah kami sepakati dalam pertemuan ini.

Dalam kesempatan ini kami juga menjadi saksi “moment of truth” yang sangat menggetarkan. Sepasang suami istri menyerahkan sebuah amplop berisi uang Rp. 8 juta kepada Ustadz Yusuf. Yang membuat bergetar bukanlah nilai uang itu. Ternyata uang Rp. 8 juta itu adalah satu-satunya milik mereka yang semula diniatkan untuk modal berjualan. Mereka mengikhlaskannya untuk disedekahkan kepada Pesantren Darul Quran milik ustadz. Subhanallah. Ini adalah momen “quantum giving”, ujar ustadz.

Selain itu saya juga menyaksikan seorang anak muda, developer town house dari Yogyakarta, menyerahkan satu unit rumah senilai Rp. 500 jutaan untuk digunakan sebagai pesantren Darul Quran.

Rupanya tamu-tamu seperti inilah yang kerap berkunjung ke markas beliau di daerah Cipondoh Tangerang ini. Mereka-mereka yang tersentuh dan tergerak hatinya oleh ajakan ustadz untuk menyerahkan harta terbaiknya untuk digunakan di jalan Allah.

Gaya bicara ustadz yang menyentuh sekaligus provokatif telah menyentuh hati jutaan pengikutnya. Berbondong-bondong mereka mengikuti ceramah ustadz muda yang baru berusia 32 tahun ini. Saya kagum dengan sosok yang baru saya kenal ini. Sosok anak muda, enerjik, memiliki ilmu yang dalam, banyak ide progresif dan juga seorang pemimpi dan pemimpin yang visioner.

“Bagaimana kalau kita beli TPI yang sekarang sedang pailit itu?”, pertanyaan itu diajukannya dengan penuh keyakinan. “Bayangkan kalau seandainya 1 juta orang saja menyetor masing-masing Rp. 10 juta saja, pasti kita bisa membeli TPI”. Betul juga.

“Ada lagi sebuah bank syariah beraset Rp. 15 trilyun dan mau ditawarkan dengan harga Rp. 1 trilyun, kenapa kita nggak ambil aja secara berjamaah?”.

Saya jadi teringat dengan film Finding Nemo, yang mengisahkan seekor ikan badut kecil yang memberi komando kepada kumpulan ikan sarden yang tengah terjerat jaring kapal penangkap ikan. Semua ikan panik dan berusaha bergerak ke segala arah. Nemo memerintahkan agar mereka semua bergerak ke bawah, ke satu arah. Awalnya ikan-ikan sarden itu bingung dengan perintah itu, tapi sedikit demi sedikit mereka mengikutinya. Akhirnya seluruh ikan sarden mengikuti perintah itu dan menjadi kekuatan yang dahsyat. Kayu besar mengait jaring kapal pun putus dan ikan pun terbebas dari jeratan.

Peran seperti Nemo inilah yang sedang dilakukan oleh Ustadz Yusuf Mansur ini. “Jangankan 1 triliun, puluhan triliun pun bisa diperoleh dengan komando dari Ustadz”, ujar saya. Ustadz pun tergelak dan suka dengan analogi saya ini. Makanya Ustadz saya beri gelar Ustadz Nemo. Hehe…

Sungguh, pengalaman berharga yang kami dapatkan dari kesempatan beberapa jam bersama beliau. Energi Allah itu maha besar. Berada di dekat orang-orang yang dekat dengan Allah, kita akan merasakan dahsyatnya energi itu. Saya yang tadinya berangkat dalam keadaan setengah mengantuk, ketika pulang kok jadi bersemangat dan lupa dengan kantuk itu.

Salam FUUUNtastic! SuksesMulia!
Wassalam,

Sumber :

Roni, Owner Manet Busana Muslim, Founder Komunitas Tangan Di Atas
http://www.pkesinteraktif.com/content/view/6132/929/lang,id/
12 November 2009